Generasi milenial, manusia modern, golongan manusia paling maju sepanjang peradaban terciptanya manusia. Bagaimana tidak, dalam sehari kita bisa menyerap begitu banyak informasi, baik dari ekonomi, politik, agama, pendidikan, dan lainya. Itu semua kita dapatkan dalam waktu singkat dan sangat mudah, bahkan anak kecil sekalipun bisa mengetahui apa yang terjadi dibelahan dunia sana. Adek-adek kita sudah bisa menulis di keyboard begitu dia paham huruf alfabet, tak perlu belajar lama menulis diatas kertas, dia juga bisa menginstal permainan yang dia suka walaupun tanpa paham apa yang dia baca.
Orang tua kita, entah ayah, atau kakek, atau lebih tua dari itu, mereka tak medapatkan informasi sebegitu cepat dan mudah seperti ini, dahulu mereka perlu belajar dan mencari kemana-mana informasi yang mereka butuhkan, bahkan dalam hal teknologi, beberapa dari mereka merasakan transfromasi dari penggunaan lampu petromak minyak hingga lampu bohlam listrik seperti sekarang, lantas dengan semua kemajuan yang ada ini, apakah manusia modern bisa disebut manusia paling bahagia?
Tentu saja jawabanya relatif, kadar kebahagian orang beda-beda, tapi umumnya dan karena stigma yang tertempel dimasyarakat kita sekarang sudah jauh berbeda sebagaimana yang ada dahulu.
Dengan banyaknya informasi yang kita terima, banyak juga standarisasi baru yang tercipta di masyarakat kita sekarang. Manusia modern terbebani dengan stigma masyarakat tentang kecantikan, karir, umur dan kesuksesan; diumur sekian harus mencapai dan memiliki A, diumur sekian harus mencapai dan memiliki B, belum lagi gaya hidup modern yang harus dipenuhi, entah cicilan, dan tagihan, gaya hidup, dan penampilan, atau biaya sekolah, dan kuliah, atau pernikahan serta seserahan dan juga biaya tabungan pensiun, untuk buah hati nanti atau finansial planning; investasi, saham dan lainya, bahkan beberapa manusia modern harus memenuhi gengsi diantara pertemanan, semua itu menjadi beban dan tantangan baru di zaman modern ini, karena di zaman dulu, manusia hanya diharuskan bertahan hidup untuk mencari makan dan tempat tinggal, tanpa perlu kendaraan atau finnasial planning lainya, (btw saya tidak anti finansial planning, saya juga mempelajari dan memanfaatkan itu). Maksud saya adalah dengan adanya ini semua, ini menjadi sebuah pemicu baru akan maraknya depresi dikalangan manusia modern, mereka dituntut oleh keadaan untuk memenuhi semua itu, seolah ada tuntutan jika tidak memiliki hal-hal diatas mereka tidak bahagia, jadi demi mendapatkan kehidupan yang layak dan nyaman akhirnya mereka bekerja terlalu keras dan lupa untuk berbahagia atau bahkan tidak mendapatkan kebahagian itu.
Ya mungkin, disetiap zaman pasti ada tantanganya masing-masing tapi apa yang membuat manusia sampai bisa melupakan kebahagian diri sendiri.
Kita hidup dalam sebuah sistem tatanan baru, yang mana jika tidak mengikutinya kita tak bisa hidup; uang, pendidikan, politik, karir pekerjaan, kecantikan dan lain-lain. Manusia dahulu hanya butuh makan dan tempat tinggal, padahal manusia modern sekarang kebutuhan hidupnya sudah cenderung hampir terpenuhi, mereka memiliki tempat tinggal yang kokoh, makanan serba melimpah, baju yang hangat.
Manusia dahulu memaknai hidup dengan cara sederhana sehingga mereka bisa berbahagia dengan hal-hal sederhana pula, sekarang sebagian dari kita mengaggap bahagia adalah kemewahan, ketenaran, kecantikan, kekuasaan dan pengakuan akan semua hal tersebut.
Dan disebabkan semua hal ini, tak jarang dari manusia modern terkena depresi, sebagian dari mereka membandingkan dirinya dengan temannya yang sudah memenuhi kualifikasi manusia modern diatas, sehingga mereka merasa tidak berguna, tidak sukses, tidak tampak cantik dan tampan, bahkan yang sudah memenuhi semua hal diataspun masih bisa merasa tidak bahagia karena tidak mendapatkan pengakuan (penghargaan) dari orang-orang terdekatnya, teman, keluarga, pasangan.
Lantas, harus bagaimanakah kita?
Sebagaimana yang sudah kita pahami, dalam agama islam jelas bahwa kunci hidup bahagia adalah bersyukur dan merasa cukup, Al-Quran juga menjelaskan bahwa jika kita bersyukur maka akan ditambah kenikmatan kita (bagi teman-teman pelajar agama pasti sudah paham, bahkan mungkin lebih paham dari saya), dengan bersyukur dan merasa cukup dengan apa yang kita miliki kita bisa hidup tenang dan bahagia, tapi mungkin sebagian dari kita tetap saja mengatakan bahwa realita hidup tak seindah itu dan aplikasi dua hal tadi juga tak semudah itu, melihat latar belakang kehidupan dan kebutuhan orang berbed-beda.
Di agama islam mengajarkan berbagai macam solusi dan cara agar hidup tenang dan bahagia. Saya rasa teman-teman sudah paham dan mengetahui akan hal itu.
Disini saya ingin menambahkan salah satu prinsip ajaran filsafat stoikisme yang menurut saya tidak bertentangan dengan ajaran islam, dan sebenarnya prinsip inipun sesuai dengan ilmu Psikologi, prinsip ini dinamakan “dikotomi kendali” (dichotomy of control), prinsip ini mengajarkan kita bahwa didalam hidup ini ada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan tidak bisa kita kendalikan.
Hal-hal yang bisa kita kendaikan meliputi:
- Pikiran kita untuk memutuskan, opini kita, atau persepsi cara pandang kita pada suatu permasalahan.
- Peinginan kita.
- Tujan kita.
- Perbuatan dan perilaku kita.
Hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan:
- Perilaku dan sikap orang lain.
- Cara pandang orang lain.
- Kesehatan kita. (Ya, kesehatan itu diluar kendali kita).
- Kekayaan.
- Reputasi atau kepopuleran.
Jika kita bisa mengendalikan ini dalam keseharian kita, saya rasa cukuplah kita dalam hidup ini untuk mendapatkan ketenangan, memang pengaplikasian hal ini tak semudah yang dikatakan. Ambil contoh ketika kita antri untuk makan atau administrasi perkuliahan, kita sudah mengantri panjang tapi ketika tiba giliran kita, kita kehabisan jatah dan akhirnya disuruh mengantri besok harinya. keputusan antri dan berangkat mengurus administrasi itu merupakan kendali kita, kita bisa pergi pagi atau menunggu agak siang, itu semua tergantung kita, tapi adapun jatah antrian hari itu jelas diluar kendali kita, dan rasa kecewa dan marah yang timbul merupakan persepsi yang muncul dari pikiran kita, ketika kita menganggapnya sebagai kesia-siaan maka hal negatiflah yng muncul, mungkin kita marah atau kesal, tapi ketika kita mengontrol persepsi dari pikiran kita untuk hal lain, misalnya, “ya setidaknya hari ini saya keluar dan beraktivitas pagi”, itu akan memunculkan persepsi positif dalam diri kita. karena sebenarnya semua hal itu bersumber dari pikiran kita sendiri, kurang lebih hal ini juga pernah disampaikan oleh epictetus, seorang tokoh filsuf Stoikisme. Coba kita renungi lagi, semua ketakutan dan kekhawatiran berasal dari pikiran yang mana bisa kita kontrol, contoh; takut terlambat, takut ditilang, bahkan takut ditolak pasangan, antrian panjang, begitu juga pilihan, keputusan, dan usaha, semua itu merupakan hal yang keluar dari diri kita, adapun hasil, itu jelas diluar kendali kita, karena banyak faktor yang mempengaruhinya, dan segala sesuatu yang terjadi juga merupakan rangkaian kejadian yang saling berhubungan satu sama lain, dan kunci ketenangan dari hasil atas hal-hal tadi ada dipengontrolan diri kita atas persepsi, takut terlambat, maka datang sebelum waktunya. Berada di antrian yang panjang, daripada mengeluarkan persepsi negatif dengan mengeluh, kita bisa mengubahnya menjadi positif, mungkin membaca, atau mendengar al-Quran atau sholawat atau apapun yang kita suka.
Dan pengontrolan diri ini juga, selaras dengan apa yang ilmu psikologi ajarkan, yang bertujuan umtuk menghindari kita dari depresi akibat beban pikiran kita sendiri.
Sebenarnya masih banyak hal ingin saya tulis, mungkin untuk saat ini cukup sekian dahulu, saya sangat terbuka untuk mengobrol dan diskusi, just feel free for that, get in touch with me on my insta (ilhammafatihulihda) or my twetter (mafatihulihda), lebih bgaus lagi kalo ngobrol langsung sih, saya sangat menikmati obrolan apapun itu.
Terima kasih atas perhatianya, semoga bermanfaat. Dan semoga saya bisa terus istiqomah nulisnya hahaha.
Comments
Post a Comment